
JAKARTA, BSNP-INDONESIA.ORG — Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Prof Abdul Mu’ti mengingatkan semua pihak untuk bersiap dan menyiapkan model pembelajaran hibrid.
“Kita harus bertahan atau menyerah pada keadaan. Sebagai kaum beriman, kita bertahan dan meraih kemajuan. Saat ini, teknologi sesuatu yang disebut dunia maya, tetapi kita menghadapinya di dunia nyata. Virtual tapi nyata dan menjadi bagian kehidupan kita. Bagaimana pengaruh pada perubahan dalam pembelajaran. Kita tidak mungkin lagi berjalan mundur. Model pembelajaran hibrid, kampus dan sekolah harus menyiapkan pembelajaran hibrid,” ujarnya dalam diskusi Peringatan Hari Pendidikan Nasional yang digelar oleh Dewan Eksekutif Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah di Jakarta, Minggu (9/5/2021).
Abdul Mu’ti mengatakan, saat ini kita berada pada era yang beberapa tahun lalu ditulis para ahli sebagai era disrupsi. Sebuah era yang ditandai oleh fallibility, uncertainty, complexity, dan ambiguity (FUCA).
“Sebuah dunia yang tidak pasti, sangat kompleks, dan ambiguitas. Banyak hal terjadi, tetapi tidak diketahui sesungguhnya apa, dan tidak diketahui apa yang harus dilakukan,” ujarnya.
Situasinya dari FUCA ke TUCA, situasi yang lebih serius dari turbulence, uncertainty, complexity, dan ambiguity (TUCA). “Kita semua mengalami ini.
Kita alami goncangan yang sangat luar biasa. Tidak hanya ekonomi, politik, dan mental yang luar biasa,” ujarnya, yang juga mengingatkan bahwa dunia pendidikan juga tergoncang.
Menyitir Yuval Noah Harari, penulis dalam 21 lesson for 21th century, Abdul Mu’ti mengatakan, selalu ada sesuatu yang baru yang terus hadir. Dan hal baru itu, terjadi dengan begitu cepat.
Multi mengatakan, yang menjadi trend dunia pada abad 21, seperti diungkapkan oleh para ahli, paling tidak ada empat hal penting dan menentukan.
Pertama, among survival or among the losser. Bertahan atau menyerah pada keadaan. Bagaimana teknologi jadi penting. Meski saat ini masih ada kesenjangan teknologi, belajar online hanya dinikmati oleh yang punya akses pada teknologi. “Mereka yang punya akses gadget, internet dan budget,” ujarnya.
Kedua, mentality. Bagaimana mental jadi sangat penting. Banyak orang terdampak, langsung menyerah pada keadaan. Covid sebagai masalah sangat serius lalu pasif.
“Ini kelompok fatalis, jabariyah. Menunjukkan masalah itu, dan ditunjukkan bermasalah, kemudian dibesar-besarkan untuk jadi pembenaran atas keadaan yang dihadapi,” ujar Mu’ti yang mengingatkan, Pandemi Covid-19 juga bisa menjadi tantangan dan opportunity.
Ketiga, kreativitas menjadi penting. Kita semua melihat, di masa Pandemi Covid-19 ini, ada temuan baru, seperti G-nose dari UGM. Jamaah zoomiyah dan youtubiyah, yang semakin hari semakin menjadi ritual keseharian.
“Meski banyak orang mengalami tekanan luarbiasa dalam kehidupan, dan mengatasi persoalan dengan cara yang memang dilakukan sendiri tanpa bantuan dari orang lain. Seperti yang dilakuan para ustadz yang tidak ke masjid dan majelis taklim. Mereka susah, tetapi tidak mengeluh,” ujarnya.
Keempat, dalam hal pendidikan ketika trend ke depan semuanya terdigitalisasi. Bergerak kedepan, bagaimana menjadikan dunia digital sebagai dunia baru. “Perang kedepan, bukan lagi pakai senjata atau pakai kapal selam, sudah perang data. Siapa yang kuasai data akan menguasai dunia. Isu big data. Istilahnya, digital dictatorship seperti yang dipakai Harari,” ujarnya.